BAB
1.
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang Masalah
Pelaksanaan suatu pelatihan oleh institusi
sering mengalami kegagalan. Disamping jarang dilakukan analisis kebutuhan
pelatihan, juga karena tidak memiliki perencanaan penyeleksian yang terarah.
Dengan demikian pelatihan kurang mampu menjawab kebutuhan organisasi, individu pegawai,
dan kebutuhan akan pekerjaannya. Hal penting dalam sebuah institusi adalah
mensosialisasikan para pegawainya ke dalam budaya institusi agar mereka dapat
menjadi pegawai yang produktif dan efektif setelah memasuki dan menjadi anggota
sistem sosial pada institusi. Salah satu cara utama untuk melakukan hal itu
adalah melalui pelatihan kompetensi pegawai. Mengapa diperlukan, karena
penempatan pegawai dalam pekerjaan secara langsung tidak menjamin mereka akan
berhasil. Pegawai sering merasa tidak pasti tentang peranan dan tanggung jawab
mereka dalam institusi.

Melalui
pelatihan kompetensi pegawai, pegawai terbantu mengerjakan pekerjaan yang ada,
dapat meningkatkan keseluruhan kemampuan pegawai, dan membantu mengembangkan
tanggung jawabnya di masa depan. Pengembangan dapat membantu pegawai agar mampu
mengatasi tanggung jawabnya di masa depan, maka salah satu upaya strategis yang
perlu dilakukan adalah menciptakan sebuah proses belajar berkelanjutan di
seluruh lapisan pegawai melalui paket pelatihan dan pengembangan.
Saat
ini untuk mencapai tingkat pendidikan yang tinggi dibutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Pendidikan mahal. Itulah wacana yang sering menjadi bahan perbincangan
di masyarakat. Pendidikan mahal disebabkan banyak komponen yang harus dipenuhi
untuk mendukung berlangsungnya pendidikan formal pada suatu institusi
pendidikan, komponen itu sendiri memerlukan biaya yang tidak sedikit. (Harian Analisa,
19 Mei 2009).
Pendidikan
merupakan suatu proses menyiapkan individu untuk mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan lingkungan. Pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan
nasional karena pendidikan merupakan salah satu cara untuk membentuk sumberdaya
manusia yang berkualitas untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Generasi
muda merupakan generasi penerus bangsa. Perkembangan kemajuan bangsa sedikit
banyak berada di tangan generasi muda. Pendidikan pada generasi muda diharapkan
mampu mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Generasi muda yang
berpendidikan dan beprestasi diharapkan mampu membawa negeri ini menghadapi persaingan
global, khususnya dalam bidang pendidikan.
Jalur
pendidikan dibedakan menjadi dua, yaitu pendidikan formal dan pendidikan
nonformal. Pendidikan formal diperoleh melalui lembaga pendidikan, yaitu
sekolah dan merupakan pendidikan yang berjenjang dari pendidikan paling rendah
sampai dengan pendidikan yang tinggi. Sedangkan jalur pendidikan nonformal
adalah suatu bentuk pelatihan yang mempunyai organisasi di luar pendidikan
formal, misalnya kursus.
Pendidikan
mempunyai fungsi untuk menyiapkan sebagai manusia secara utuh, menyiapkan
tenaga kerja, dan menyiapkan warga negara yang baik serta agen pembaharuan
sosial. Pendidikan menengah diselenggarakan bertujuan untuk melanjutkan
pendidikan, mempersiapkan warga negara menuju proses belajar di masa yang akan datang
dan menyiapkan lulusan menjadi masyarakat yang baik. Pendidikan menengah
terdiri dari Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Dapat
disimpulkan bahwa pendidikan adalah untuk membentuk manusia secara utuh,
membentuk pribadi yang dewasa, beriman dan bertaqwa, mandiri, berilmu serta
bertanggung jawab. Pendidikan juga membentuk manusia sebagai agen pembaharuan
sosial sehingga dapat menghadapi dan menyesuaikan serta mengantisipasi masa
depan.
Oleh
karena itu dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka dengan latar belakang dan
pendidikan orang tua yang tinggi akan dapat mempengaruhi cara berfikir sehingga
dapat mencapai prestasi yang maksimal.
Perubahan sikap pegawai atau masyarakat pada penggunaan suatu
barang dari hari ke hari semakin meningkat. Apalagi pada beberapa tahun
belakangan ini, yang semakin pesatnya teknologi yang berkembang di dunia, salah
satunya di Indonesia.
Pada era globalisasi ini, pesatnya teknologi informasi di
Indonesia menyebabkan bermunculnya berbagai institusi yang bergerak dalam
berbagai bidang, bahkan tingkat persaingan yang terjadi antar institusiinstitusi
tersebut semakin besar. Dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin
canggih, terbukti dengan semakin lancarnya orang berkomunikasi dari suatu
tempat ke tempat lain sekalipun jarak antara satu orang dengan orang yang
lainnya sangat jauh. Dengan adanya kecanggihan teknologi pada saat ini, hal itu
bukan menjadi suatu masalah besar lagi.
Setiap institusi atau organisasi baik pemerintah maupun swasta
di dalamnya terdapat unsur manusia yang berfungsi sebagai penggerak yang dapat
menjalankan dan mencapai tujuan organisasi melalui kerja sama antara
orang-orang yang ada di dalam organisasi tersebut melalui kegiatan mkomunikasi.
Dalam buku karangan Mar’at yang berjudul Sikap Manusia,
perubahan, serta pengukurannya, Shaver menyebutkan :
Predisposisi untuk
bertindak senang atau tidak senang terhadap objek tertentu mencakup komponen
kognisi, afeksi, dan konasi. Komponen kognisi akan mejawab pertanyaan apa yang
dipikirkan atau dipersepsikan tentang objek. Komponen afeksi menjawab pertanyaan
tentang apa yang dirasakan (senang atau tidak senang) terhadap objek. Dan
komponen kognisi akan menjawab pertanyaan bagaimana kesediaan atau kesiapan
untuk bertindak terhadap objek. (Mar’at, 1982:21).
Peningkatan
kinerja pegawai secara perorangan akan mendorong kinerja sumbar daya manusia
secara keseluruhan, yang direkflesikan dalam kenaikan produktifitas.
Berdasarkan
uraian di atas menunjukkan penilaian kinerja merupakan suatu hal yang tidak
dapat dipisahkan dengan institusi. Dukungan dari tiap manajemen yang berupa
pengarahan, dukungan sumber daya seperti, memberikan peralatan yang memadai
sebagai sarana untuk memudahkan pencapaian tujuan yang ingin dicapai dalam
pendampingan, bimbingan, pelatihan serta pengembangan akan lebih mempermudah
penilaian kinerja yang obyektif.
Faktor
penilaian obyektif memfokuskan pada fakta yang bersifat nyata dan hasilnya
dapat diukur,misalnya kuantitas, kualitas, kehadiran dan sebagainya. Sedangkan
faktor-faktor subyektif cenderung berupa opini seperti menyerupai sikap, kepribadian,
penyesuaian diri dan sebagainya. Faktor-faktor subyektif seperti pendapat
dinilai dengan meyakinkan bila didukung oleh kejadian-kejadian yang
terdokumentasi. Dengan pertimbangan faktor-faktor tersebut diatas maka dalam
penilaian kinerja harus benar-benar obyektif yaitu dengan mengukur kinerja pegawai
yang sesungguhnya atau mengevaluasi perilaku yang mencerminkan keberhasilan
pelaksanaan pekerjaan. Penilaian kinerja yang obyektif akan memberikan feed
back yang tepat terhadap perubahan perilaku ke arah peningkatan
produktivitas kinerja yang diharapkan.
Penilaian
kinerja dengan berbagai bentuk seperti key performance indicator atau key
performance Index pada dasarnya merupakan suatu sasaran dan proses
sistimatis untuk mengumpulkan, menganalisa dan menggunakan informasi untuk
menentukan efisiensi dan efektivitas tugas-tugas pegawai serta pencapaian
sasaran. Menurut Armstrong (1998 ), penilaian kinerja didasarkan pada
pengertian knowledge, Skill, expertise dan behavior yang
diperlukan untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik dan analisa lebih luas
terhadap attributes dan perilaku individu. Dalam manajemen kinerja
kompetensi lebih berperan pada dimensi perilaku individu dalam menyesuaikan
suatu pekerjaan dengan baik. Attributes terdiri dari knowledge, skill
dan expertise.
Kompetensi
kinerja dapat diartikan sebagai perilaku-perilaku yang ditunjukkan mereka yang
memiliki kinerja yang sempurna, lebih konsisten dan efektif, dibandingkan
dengan mereka yang memiliki kinerja rata-rata. Menurut Mc.Clelland dalam Cira dan
Benjamin (1998), dengan mengevaluasi kompetensikompetensi yang dimiliki
seseorang, kita akan dapat memprediksikan kinerja orang tersebut. Kompetensi
dapat digunakan sebagai kriteria utama untuk menentukan kerja seseorang.
Misalnya, untuk fungsi profesional, manajerial atau senior manajer. Pegawai-pegawai
yang ditempatkan pada tugas-tugas tersebut akan mengetahui
kompetensi-kompetensi apa saja yang diperlukan, serta cara apa yang harus
ditempuh untuk mencapai promosi ke jenjang posisi berikutnya. Institusi sendiri
hanya akan mempromosikan pegawai-pegawai yang memenuhi kompetensi-kompetensi
yang dibutuhkan dan dipersyaratkan oleh institusi.
Penilaian
kinerja pegawai sebagai pelaku dalam organisasi dengan membuat ukuran kinerja
yang sesuai dengan tujuan organisasi. Standar penilaian kinerja suatu
organisasi harus dapat diproyeksikan kedalam standar kinerja para pegawai
sesuai dengan unit kerjanya. Evaluasi kinerja harus dilakukan secara terus
menerus agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien. Untuk
itu perlu dilakukan kegiatan penilaian kinerja secara periodik yang
berorientasi pada masa lalu atau masa yang akan datang. Institusi perlu
mengetahui berbagai kelemahan atau kelebihan pegawai sebagai landasan untuk
memperbaiki kelemahan dan menguatkan kelebihan dalam rangka meningkatkan
produktivitas pegawai.
Indikator
penilaian kinerja di institusi ini meliputi empat kelompok yaitu hasil kerja
yang berhubungan dengan keuntungan institusi, kemampuan pegawai ,pelayanan
pelanggan dan peningkatan pegawai. Penilaian kinerja yang sudah ada perlu
dilengkapi dengan kompetensi yang berhubungan dengan skill dan knowledge
yaitu, komunikasi, kerjasama kelompok, kepemimpinan dan pengambilan
keputusan secara analitis. Penambahan kompetensi dalam penilaian kinerja
diharapkan dapat memperbaiki proses penilaian kinerja pegawai. Bagi institusi
ini pegawai merupakan pelaksana manajemen puncak yang mampu berinteraksi dengan
worker dan manajemen puncak.
Berdasarkan
latar belakang yang telah dijelaskan diatas maka penulis bermaksud mengadakan
penelitian tentang “Pengaruh Pelatihan,
Tingkat Pendidikan dan Sikap Pegawai Terhadap Kinerja Karywan Pada Kantor
Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan”.
1.2.Perumusan
Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah:
1.
Apakah Pelatihan berpengaruh secara parsial terhadap Kinerja Karywan Pada Kantor Kementerian Agama Kota
Jakarta Selatan.
2.
Apakah tingkat pendidikan berpengaruh secara parsial terhadap Kinerja Karywan Pada Kantor Kementerian Agama Kota
Jakarta Selatan.
3.
Apakah sikap pegawai
berpengaruh secara parsial terhadap Kinerja Karywan Pada Kantor Kementerian Agama Kota
Jakarta Selatan
4.
Apakah pelatihan, tingkat pendidikan
dan sikap karywan secara simultan berpengaruh secara simultan
terhadap Kinerja Karywan
Pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan
1.3.Tujuan
Penelitian
Tujuan yang hendak
dicapai dalam kegiatan penelitian ini antara lain:
1.
Mengetahui secara
parsial pengaruh pelatihan terhadap Kinerja Karywan
Pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan.
2.
Mengetahui secara
parsial pengaruh tingkat penddikan
terhadap Kinerja
Karywan Pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan.
3.
Mengetahui secara
parsial pengaruh sikap pegawai terhadap Kinerja Karywan
Pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan
4.
Mengetahui secara
simultan pengaruh pelatihan, tingkat pendidikan dan sikap karywan
secara simultan terhadap Kinerja Karywan Pada Kantor Kementerian Agama Kota
Jakarta Selatan.
1.4.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh bagi beberapa pihak dari
penelitian mengenai analisis pengaruh pelatihan, tingkat pendidikan dan sikap pegawai
terhadap kinerja pegawai antara lain:
1. Bagi
penulis,dapat menambah wawasan dan mendapatkan ilmu pengetahuan baru
2. Bagi
kantor, dapat melihat pengaruh antara pelatihan, tingkat pendidikan dan sikap pegawai
terhadap kinerja pegawai sehingga dapat
meningkatkan mutu institusi.
3.
Bagi pegawai,dapat mengetahui hubungan tunjangan dan
bonus terhadap kinerja mereka.
1.5.
Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini secara/minat umum terbagi menjadi tiga bagian
yaitu bagian pertama berisi tentang lembar judul, lembar pengesahan, daftar
isi. Bagian kedua merupakan bagian isi yang berisi lima bab, dan bagian
terakhir berupa daftar pustaka dan lampiran-lampiran. Bagian isi diuraikan
sebagai berikut :
BAB 1: PENDAHULUAN
Dalam bab ini dijelaskan tentang latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB 2 : KAJIAN
PUSTAKA
Dalam bab ini dijelaskan teori-teori mengenai
Pelatihan, Tingkat Pendidikan, Sikap Pegawai dan Kinerja Pegawai serta hasil penelitian
terdahulu, kerangka pemikiran dan hipotesis.
BAB 3 : METODOLOGI
PENELITIAN
Dalam bab ini dijelaskan
mengenai pengumpulan data dan analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini.
BAB 4 : HASIL DAN
PEMBAHASAN
Dalam bab ini dijelaskan
tentang hasil dari penelitian yang dilakukan peneliti, yaitu meliputi gambaran
umum tentang Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan. Kemudian dijelaskan
hasil analisis terhadap variabel penelitian dengan menggunakan analisis
statistik program SPSS 16.0 for
windows. Dijelaskan pula implikasi
Manajemen dari hasil yang diperoleh dalam penelitian.
BAB 5 : KESIMPULAN DAN
SARAN
Bab ini menjelaskan
tentang kesimpulan yang relevan dengan rumusan masalah yang telah disebutkan
pada bab 1. Selain itu juga terdapat beberapa saran yang ditujukan kepada pegawai Kementerian Agama Kota
Jakarta Selatan.
BAB 2.
KAJIAN TEORI
2.1.
Pengertian Pelatihan
Pada
hakekatnya kegiatan pelatihan atau training perlu dilaksanakan oleh suatu institusi
dengan tujuan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan pegawai. Apa sebenarnya
definisi atau pengertian pelatihan itu? William J Mc. Larny dan William M.
Berliner (dalam Tunggal 1995 :. 6) memberikan definisi atau pengertian
pelatihan sebagai suatu sistem yang berkesimbungan atas pengembangan semua
pegawai dalam suatu organisasi”. Hal ini berarti semua tingkatan manajemen, posisi
penyedia dan non penyedia dalam semua keahlian, pengetahuan dan sikap yang
diperlukan untuk pelaksanaan optimum atas posisi ini. Sedangkan House (dalam
Tunggal 1995 :. 7) memberikan definisi atau pengertian pelatihan dan
pengembangan pegawai adalah segala usaha untuk meningkatkan hasil kerja pegawai
masa sekarang atau yang akan datang dengan menambah kemampuan pegawai yang
dilaksanakan melalui belajar, biasanya dengan mengubah sikap pegawai atau
penambahan kemampuan dan pengetahuan pegawai. Simamora (2004 : 273) memberikan
definisi atau pengertian pelatihan atau training sebagaiproses pembelajaran
yang melibatkan perolehan keahlian, konsep, peraturan atau sikap untuk
meningkatkan kinerja pegawai”.
Menurut
pasal 1 ayat 9 undang-undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
pelatihan adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan
serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap dan etos
kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan
kualifikasi jabatan dan pekerjaan. Dari penjelasan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa pelatihan atau training adalah suatu sistem yang
berkesimbungan atas pengembangan semua pegawai untuk meningkatkan hasil kerja
pegawai masa sekarang atau yang akan datang dengan menambah kemampuan pegawai
yang dilaksanakan melalui belajar.
Pelatihan
biasanya fokus pada sebuah suatu topik tertentu dan yang khusus, saat
mereka yang hadir dapat berpartisipasi secara aktif. Pelatihan seringkali
dilaksanakan dalam bentuk dialog dengan moderator, atau melalui sebuah
presentasi hasil penelitian dalam bentuk yang formal. Ada sesi debat dan ada
juga berbagi pengalaman.
Menurut
Mathis (2002), Pelatihan adalah suatu proses dimana orang-orang mencapai
kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu,
proses ini terikat dengan berbagai tujuan organisasi, pelatihan dapat dipandang
secara sempit maupun luas. Secara terbatas, pelatihan menyediakan para pegawai
dengan pengetahuan yang spesifik dan dapat diketahui serta keterampilan yang
digunakan dalam pekerjaan mereka saat ini. Terkadang ada batasan yang ditarik
antara pelatihan dengan pengembangan, dengan pengembangan yang bersifat lebih
luas dalam cakupan serta memfokuskan pada individu untuk mencapai kemampuan
baru yang berguna baik bagi pekerjaannya saat ini maupun di masa mendatang.
Sedangkan
Payaman Simanjuntak (2005) mendefinisikan pelatihan merupakan bagian dari
investasi SDM (human investment) untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan kerja, dan dengan demikian meningkatkan kinerja pegawai. Pelatihan
biasanya dilakukan dengan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan jabatan,
diberikan dalam waktu yang relatif pendek, untuk membekali seseorang dengan
keterampilan kerja.
Pelatihan
didefinisikan oleh Ivancevich sebagai “usaha untuk meningkatkan kinerja pegawai
dalam pekerjaannya sekarang atau dalam pekerjaan lain yang akan dijabatnya
segera”. Selanjutnya, sehubungan dengan definisinya tersebut, Ivancevich (2008)
mengemukakan sejumlah butir penting yang diuraikan di bawah ini: Pelatihan (training)
adalah “sebuah proses sistematis untuk mengubah perilaku kerja
seorang/sekelompok pegawai dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi”.
Pelatihan terkait dengan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk
pekerjaan yang sekarang dilakukan. Pelatihan berorientasi ke masa sekarang dan
membantu pegawai untuk menguasai keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang
spesifik untuk berhasil dalam pekerjaannya.
Pelatihan
menurut Gary Dessler (2009) adalah Proses mengajarkan pegawai baru atau yang
ada sekarang, ketrampilan dasar yang mereka butuhkan untuk menjalankan
pekerjaan mereka”. Pelatihan merupakan salah satu usaha dalam meningkatkan mutu
sumber daya manusia dalam dunia kerja. Pegawai, baik yang baru ataupun yang
sudah bekerja perlu mengikuti pelatihan karena adanya tuntutan pekerjaan yang
dapat berubah akibat perubahan lingkungan kerja, strategi, dan lain sebagainya.
Dari
beberapa pengertian di atas maka di tarik kesimpulan Training atau pelatihan
adalah kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan kinerja kita dalam melakukan
pekerjaan, baik pekerjaan secara fisik maupun pekerjaan yang berhubungan dengan
orang lain, terutama dalam perkembangan dari masing-masing individu. Dengan training
pengembangan diri (self development), diharapkan kita dapat
bertambah wawasan, berubah sikap, dan berkembang kepribadian.
2.1.1. Tujuan Penelitian
Tujuan
umum pelatihan sebagai berikut : (1) untuk mengembangkan keahlian, sehingga
pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif, (2) untuk
mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan
secara rasional, dan (3) untuk mengembangkan sikap, sehingga
menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen
(pimpinan).
Sedangkan
komponen-komponen pelatihan sebagaimana dijelaskan oleh Mangkunegara (2005)
terdiri dari :
1.
Tujuan dan sasaran pelatihan dan
pengembangan harus jelas dan dapat di ukur.
2.
Para pelatih (trainer) harus ahlinya
yang berkualitas memadai (profesional).
3.
Materi pelatihan dan pengembangan harus
disesuaikan dengan tujuan yang hendak di capai.
4.
Peserta pelatihan dan pengembangan
(trainers) harus memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Dalam pengembangan program pelatihan, agar pelatihan
dapat bermanfaat dan mendatangkan keuntungan diperlukan tahapan atau
langkah-langkah yang sistematik. Secara umum ada tiga tahap pada pelatihan
yaitu tahap penilaian kebutuhan, tahap pelaksanaan pelatihan dan tahap
evaluasi. Atau dengan istilah lain ada fase perencanaan pelatihan, fase pelaksanaan
pelatihan dan fase pasca pelatihan.
Mangkunegara (2005) menjelaskan bahwa
tahapan-tahapan dalam pelatihan dan pengembangan meliputi : (1)
mengidentifikasi kebutuhan pelatihan / need assesment; (2) menetapkan tujuan
dan sasaran pelatihan; (3) menetapkan kriteria keberhasilan dengan alat
ukurnya; (4) menetapkan metode pelatihan; (5) mengadakan percobaan (try out)
dan revisi; dan (6) mengimplementasikan dan mengevaluasi.
2.2.
Pengertian Tingkat Pendidikan
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat.
Pendidikan
meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat
tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan
kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar
kebudayaan melewati generasi.
Menurut
Andrew E. Sikula dalam Mangkunegara (2003:50) tingkat pendidikan adalah suatu
proses jangka panjang yang menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir,
yang mana tenaga kerja manajerial mempelajari pengetahuan konseptual dan
teoritis untuk tujuan-tujuan umum. Dengan demikian Hariandja (2002: 169)
menyatakan bahwa tingkat pendidikan seorang pegawai dapat meningkatkan daya
saing institusi dan memperbaiki kinerja institusi.
Menurut UU SISDIKNAS No. 20 (2003),
indikator tingkat pendidikan terdiri dari jenjang pendidikan dan kesesuaian
jurusan. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan
kemampuan yang dikembangkan, terdiri dari:
a. Prasekolah: Dari kelahiran sampai usia 3 tahun, kanak-kanak
Indonesia pada umumnya tidak memiliki akses terhadap pendidikan formal. Dari
usia 3 sampai 4 atau 5 tahun, mereka memasuki taman kanak-kanak. Pendidikan ini
tidak wajib bagi warga negara Indonesia, tujuan pokoknya adalah untuk
mempersiapkan anak didik memasuki sekolah dasar. Dari 49.000 taman kanak-kanak
yang ada di Indonesia, 99,35% diselenggarakan oleh pihak swasta. Periode taman
kanak-kanak biasanya dibagi ke dalam "Kelas A" (atau Nol Kecil) dan
"Kelas B" (atau Nol Besar), masing-masing untuk periode satu tahun.
b. Sekolah dasar: Kanak-kanak berusia 6–11 tahun memasuki sekolah
dasar (SD) atau madrasah ibtidaiyah (MI). Tingkatan pendidikan ini
adalah wajib bagi seluruh warga negara Indonesia berdasarkan konstitusi
nasional. Tidak seperti taman kanak-kanak yang sebagian besar di antaranya
diselenggarakan pihak swasta, justru sebagian besar sekolah dasar
diselenggarakan oleh sekolah-sekolah umum yang disediakan oleh negara (disebut
"sekolah dasar negeri" atau "madrasah ibtidaiyah negeri"),
terhitung 93% dari seluruh sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah yang ada di
Indonesia Sama halnya dengan sistem pendidikan di Amerika Serikat dan
Australia, para siswa harus belajar selama enam tahun untuk menyelesaikan
tahapan ini. Beberapa sekolah memberikan program pembelajaran yang dipercepat,
di mana para siswa yang berkinerja bagus dapat menuntaskan sekolah dasar selama
lima tahun saja.
c. Sekolah menengah pertama: Sekolah menengah pertama (SMP) dan
madrasah tsanawiyah (MTs) adalah bagian dari pendidikan dasar di Indonesia. Setelah
tamat dari SD/MI, para siswa dapat memilih untuk memasuki SMP atau MTs selama
tiga tahun pada kisaran usia 12-14. Setelah tiga tahun dan tamat, para siswa
dapat meneruskan pendidikan mereka ke sekolah menengah atas (SMA), sekolah
menengah kejuruan (SMK), atau madrasah aliyah (MA).
d. Sekolah menengah atas: Sebuah sekolah menengah atas negeri di Jakarta Di Indonesia, pada
tingkatan ini terdapat tiga jenis sekolah, yaitu sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah (MA). Siswa
SMA dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi, sedangkan
siswa SMK dipersiapkan untuk dapat langsung memasuki dunia kerja tanpa
melanjutkan ke tahapan pendidikan selanjutnya. Madrasah aliyah pada dasarnya
sama dengan sekolah menengah atas, tetapi porsi kurikulum keagamaannya (dalam
hal ini Islam) lebih
besar dibandingkan dengan sekolah menengah atas. Jumlah sekolah menengah atas
di Indonesia sedikit lebih kecil dari 9.000 buah.
e. Pendidikan
tinggi: Jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program
sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi.
Kesesuaian
jurusan adalah sebelum pegawai direkrut terlebih dahulu institusi menganalisis
tingkat pendidikan dan kesesuaian jurusan pendidikan pegawai tersebut agar
nantinya dapat ditempatkan pada posisi jabatan yang sesuai dengan kualifikasi
pendidikannya tersebut. Dengan demikian pegawai dapat memberikan kinerja yang
baik bagi institusi.
Dari
beberapa pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa jenjang pendidikan adalah
tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan
yang dikembangkan yang berpengaruh pada kinerja seseorang.
2.3.
Pengertian Sikap Pegawai
Dalam
manajemen, fungsi organisasi terutama dalam hal pengawasan, organisasi perlu
memantau para pekerjanya terhadap sikap, dan hubungannya dengan perilaku.
Adakah kepuasan atau ketidak puasan pegawai dengan pengaruh pekerjaan di tempat
kerja. Dalam organisasi, sikap amatlah penting karena komponen perilakunya.
Pada umumnya, penelitian menyimpulkan bahwa individu mencari konsistensi
diantara sikap mereka serta antara sikap dan perilaku mereka.
Seseorang
bisa memiliki ribuan sikap, sikap kerja berisi evaluasi positif atau negatif
yang dimiliki oleh pegawai tentang aspek-aspek lapangan kerja mereka, ada tiga
sikap yaitu, kepuasan kerja, keterlibatan pekerjaan, dan komitmen
organisasional. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki
perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang
tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negatif tentang pekerjaan tersebut.
Keterlibatan pekerjaan , mengukur tingkat sampai mana individu secara
psikologis memihak pekerjaan mereka dan menganggap penting tingkat kinerja yang
dicapai sebagai bentuk penghargaan diri. Pegawai yang mempunyai tingkat
keterlibatan pekerjaan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan
bidang pekerjaan yang mereka lakukan. Tingkat keterlibatan pekerjaan dan
pemberian wewenang yang tinggi benar-benar berhubungan dengan kewargaan
organisasional dan kinerja pekerjaan. Keterlibatan pekerjaan yang tinggi
berarti memihak pada pekerjaan tertentu seorang individu, sementara komitmen
organisosial yang tingi berarti memihak organisasiyang merekrut individu
tersebut.
Manajemen Sumber Daya manusia.
Didalam kamus bahasa Indonesia menjelaskan sikap adalah perbuatan dan
sebagainya yang berdasarkan pendirian (Wjs. Poerwadarminta,2002:944).
Menurt La
Pierre (dalam Azwar, 2003) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku,
tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam
situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli
sosial yang telah terkondisikan. Sedangkan menurut Soetarno (1994), sikap
adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak
terhadap obyek tertentu. Sikap senantiasa diarahkan kepada sesuatu artinya
tidak ada sikap tanpa obyek. Sikap diarahkan kepada benda-benda, orang,
peritiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain.
Meskipun ada
beberapa perbedaan pengertian tentang sikap, tetapi berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah
keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam
kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek situasi atau
kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga memberikan kesiapan
untuk merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau situasi.
Ciri-ciri
Pekerja yang Memiliki Kepuasan Kerja dan yang Tidak
Menurut Herzberg (1959), ciri perilaku pekerja yang puas adalah mereka mempunyai motivasi untuk bekerja yang tinggi, mereka lebih senang dalam melakukan pekerjaanya, sedangkan ciri pekerja yang kurang puas adalah mereka yang malas berangkat ke tempat bekerja dan malas dengan pekerjaanya. Tingkah laku pegawai yang malas tentunya akan menimbulkan masalah bagi institusi berupa tingkat absensi yang tinggi, keterlambatan kerja, dan pelanggaran disiplin yang lainnya. Sebaliknya tingkah laku pegawai yang merasa puas akan lebih menguntungkan bagi institusi.
Menurut Herzberg (1959), ciri perilaku pekerja yang puas adalah mereka mempunyai motivasi untuk bekerja yang tinggi, mereka lebih senang dalam melakukan pekerjaanya, sedangkan ciri pekerja yang kurang puas adalah mereka yang malas berangkat ke tempat bekerja dan malas dengan pekerjaanya. Tingkah laku pegawai yang malas tentunya akan menimbulkan masalah bagi institusi berupa tingkat absensi yang tinggi, keterlambatan kerja, dan pelanggaran disiplin yang lainnya. Sebaliknya tingkah laku pegawai yang merasa puas akan lebih menguntungkan bagi institusi.
Para
peneliti telah berasumsi bahwa sikap mempunyai tiga komponen, yaitu kesadaran,
perasaaan dan perilaku. Kesadaran merupakan sebuah keyakinan, keyakinan bahwa “diskriminasi itu salah” merupakan
sebuah pernyataan evaluatif. Opini semacam ini adalah komponen kognitif (cognitive component) dari sikap, yang
menentukan tingkatan untuk bagian yang lebih penting dari sebuah sikap.
Keterlibatan
pegawai (employee engagement), yaitu
keterlibatan, kepuasan, dan antusiasme individual dengan kerja yang mereka
lakukan. Sebuah penelitian baru menemukan bahwa unit bisnis yang tingkat
keterlibatan pegawainya rata-rata tinggi mempunyai tingkat kepuasan pelanggan
yang lebih tinggi, lebih produktif, mempunyai keuntungan yang lebih tinggi,
serta tingkat perputaran pegawai dan
kecelakaan yang lebih rendah.
Dari
berbagai pendapat di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif
baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau
peristiwa. Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu.
Oleh
sebah itu, dalam suatu organisasi dibutuhkan pemahaman budaya yang kuat dalam
setiap pengembangan kinerja. Karena dengan pengaruh budaya organisasi tersebut
dihasilkan tingkat kepuasan kerja yang maksimal. Dari beberapa pembahasan di
atas, jelas terlihat bahwa suatu budaya organisasi tidak memiliki pengaruh yang
sangat penting dalam rnenciptakan kepuasan kerja bagi pegawai. Karena semua
keberhasilan yang diraih dalam suatu organisasi merupakan pengembangan terhadap
tujuan organisasi yang sesuai dengan nilai manajerial, pola sikap, dan
perilaku masing-masing pegawainya.
2.4.
Pengertian Kinerja Pegawai
Pendapat ahli tentang definisi Kinerja
dan Kinerja Pegawai di bawah ini : Dasar historis penelitian kinerja diawali melalui
pendekatan manajerial ke arah motivasi oleh Mayo, Roethlisberger & Dickson
(Steers & Porter, 1991: 17), pada tahun 1920-an yang mengungkap cara-cara
hubungan manusia sebagai sesuatu yang penting dipertimbangkan dalam diri
seseorang secara keseluruhan dalam pekerjaan.
Suatu penelitian telah memperlihatkan
bahwa suatu lingkungan kerja yang menyenangkan sangat penting untuk mendorong
tingkat kinerja pegawai yang paling produktif. Dalam interaksi sehari-hari,
antara atasan dan bawahan, berbagai asumsi dan harapan lain muncul. Ketika
atasan dan bawahan membentuk serangkaian asumsi dan harapan mereka sendiri yang
sering agak berbeda, perbedaan-perbedaan ini yang akhirnya berpengaruh pada
tingkat kinerja. Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama
periode tertentu di dalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja,
target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan
telah disepakati bersama.(Rivai & Basri, 2004: 14 ).
Apabila dikaitkan dengan performance
sebagai kata benda (noun), maka pengertian performance atau kinerja adalah
hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu institusi
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian
tujuan institusi secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan
dengan moral dan etika. (Rivai & Basri, 2004:16.)
Encyclopedia of psychology (Eysenck,
Arnold & Meili, 1972: 379), menjelaskan kinerja diartikan sebagai
tingkahlaku, keterampilan atau kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu
kegiatan. Menurut Dharma (1998: 9), kinerja pegawai
adalah kadar hasil yang dapat ditunjukkan seseorang dalam pelaksanaan
pekerjaannya. Prawirosentono (1999: 2), mengartikan kinerja identik dengan
performance yaitu hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok
orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab
masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara
legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Suatu lembaga, baik lembaga pemerintah
maupun lembaga institusi ataupun yayasan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan
harus melalui sarana dalam bentuk organisasi yang digerakkan oleh sekelompok
orang yang berperan aktif sebagai pelaku dalam upaya mencapai tujuan lembaga
atau organisasi bersangkutan. Tercapainya tujuan lembaga atau institusi hanya
dimungkinkan karena upaya para pelaku yang terdapat pada organisasi lembaga
atau institusi tersebut. Dalam hal ini sebenarnya terdapat hubungan yang erat
antara kinerja perorangan dengan kinerja lembaga. Bila kinerja pegawai baik
maka kemungkinan besar kinerja lembaga juga baik. Kinerja seorang pegawai akan
baik bila mempunyai kinerja yang tinggi, bersedia bekerja karena digaji atau
diberi upah sesuai dengan perjanjian dan mempunyai harapan masa depan lebih
baik.
Menurut Byars & Rue (1991: 250),
kinerja selain berkenaan dengan derajat penyelesaian dari tugas-tugas yang
dicapai individu, juga merefleksikan seberapa baik individu telah memenuhi
persyaratan pekerjaannya, sehingga kinerja diukur dalam arti hasil. Bila pegawai
gagal berperan secara wajar, seorang manajer harus menilai penyebab masalah
tersebut. Dengan menganalisis keadaan-keadaan yang terlibat dalam kinerja yang
tidak memuaskan, seorang manajer dapat menggunakan strategi-strategi yang tepat
untuk meningkatkan hasil kerja para pegawai agar dapat memenuhi standar.
Prestasi pegawai yang rendah mungkin disebabkan sejumlah faktor, mulai dari
keterampilan kerja yang buruk hingga motivasi yang tidak cukup atau lingkungan
kerja yang buruk. Suatu strategi motivasi tepat dilakukan dalam kasus, yaitu
seorang memiliki keterampilan tetapi tidak mempunyai keinginan. Dalam kasus
ini, para pegawai mungkin berbakat dan bermotivasi, tetapi tidak mampu
menyelesaikan tugas-tugas kerja mereka karena keterbatasan wewenang atau
sumberdaya untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Menurut Nadler & Lawler (Walker,
1959: 182), kinerja merupakan fungsi dari usaha dan kompetensi yang merupakan
hal penting dimana individu meyakini bahwa mereka dapat berkinerja pada
tingkatan yang dikehendaki. Usaha tergantung pada harapan dimana usaha tersebut
akan menghasilkan kesempurnaan pada tugas-tugas tertentu.
1.
Suatu
sistem formal dan terstruktur yang mengukur, menilai, dan mempengaruhi
sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku, dan hasil, termasuk
tingkat ketidakhadiran. Fokusnya adalah untuk mengetahui seberapa produktif
seorang pegawai dan apakah ia bisa berkinerja sama atau lebih efektif pada masa
yang akan datang, sehingga pegawai, organisasi, dan masyarakat semuanya
memperoleh manfaat. (Schuler & Jackson, 1996:3).
2. Pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
merupakan salah satu tolak ukur kerja individu.
Menurut Robbins (1996) yang dikutip oleh Rivai dan Basri
dalam bukunya yang berjudul performance apprasial, pada halaman 15 menyatakan
bahwa ada tiga kriteria dalam melakukan penilaian kinerja individu yaitu:
a. tugas
individu.
b. perilaku
individu.
c. dan
ciri individu.
3. Dari beberapa pengertian kinerja di atas maka
dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah suatu prestasi yang dicapai oleh
seseorang dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya, sesuai dengan standar
kriteria yang ditetapkan dalab pekerjaan itu. Prestasi yang dicapai ini akan
menghasilkan suatu kepuasan kerja yang nantinya akan berpengaruh pada tingkat
imbalan.
Suatu kinerja individu
dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan kemampuan.
Kinerja individu sendiri dipengaruhi oleh kepuasan kerja.
Kepuasan kerja itu sendiri adalah perasaan individu terhadap pekerjaannya.
Perasaan ini berupa suatu hasil penilaian mengenai seberapa jauh pekerjaannya
secara keseluruhan mampu memuaskan kebutuhannya. Dalam hal ini dibutuhkan suatu
evaluasi, yang kemudian dikenal dengan penilaian kinerja.
Penilaian kinerja
merupakan metode mengevaluasi dan menghargai kinerja yang paling umum
digunakan. Dalam penilaian kinerja melibatkan komunikasi dua arah yaitu antara
pengirim pesan dengan penerima pesan sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik.
Penilaian kinerja dilakukan untuk memberi tahu pegawai apa yang diharapkan
pengawas untuk membangun pemahaman yang lebih baik satu sama lain. Penilaian
kinerja menitikberatkan pada penilaian sebagai suatu proses pengukuran sejauh
mana kerja dari orang atau sekelompok orang dapat bermanfaat untuk mencapai
tujuan yang ada.
A.
Tujuan penilaian kinerja.
Schuler dan jackson
dalam bukunya yang berjudul Manajemen sumber daya manusia edisi keenam, jilid
kedua pada tahun 1996 menjelaskan bahwa sebuah studi yang dilakukan akhir-akhir
ini mengidentifikasi ada dua puluh macam tujuan informasi kinerja yang
berbeda-beda, yang dapat dikelompokkan dalam empat macam kategori, yaitu:
1.
Evaluasi
yang menekankan perbandingan antar-orang.
2. Pengembangan
yang menekankan perubahan-perubahan dalam diri seseorang dengan berjalannya
waktu.
3. Pemeliharaan
sistem.
4. Dokumentasi
keputusan-keputusan sumber daya manusia bila terjadi peningkatan.
Efektifitas dari
penilaian kinerja diatas yang dikategorikan dari dua puluh macam tujuan
penilaian kinerja ini tergantung dalam sasaran bisnis strategis yang ingin
dicapai. Oleh sebab itu penilaian kinerja diintegrasikan dengan sasaran-sasaran
strategis karena berbagai alasan (Schuler&Jackson ,1996 : 48), yaitu:
a. Mensejajarkan
tugas individu dengan tujuan organisasi yaitu, menambahkan deskripsi tindakan
yang harus diperlihatkan pegawai dan hasil-hasil yang harus mereka capai agar
suatu strategi dapat hidup.
b. Mengukur
kontribusi masing-masing unut kerja dan masing-masing pegawai.
c. Evaluasi
kinerja memberi kontribusi kepada tindakan dan keputusan-keputusan
administratif yang mempetinggi dan mempermudah strategi.
d. Penilaian
kinerja dapat menimbulkan potensi untuk mengidentifikasi kebutuhan bagi
strategi dan program-program baru.
B.
Manfaat penilaian kerja
Manfaat penilaian
kinerja bagi semua pihak adalah agar bagi mereka mengetahui manfaat yang dapat
mereka harapkan. (Rivai & Basri, 2004:55)
Pihak-pihak yang berkepentingan dalam penilaian adalah:
1. Orang
yang dinilai (pegawai)
2. Penilai
(atasan, supervisor, pimpinan, manager, konsultan) dan
3. Institusi.
C.
Manfaat bagi pegawai yang dinilai
Bagi pegawai yang
dinilai, keuntungan pelaksanaan penilaian kinerja adalah (Rivai&Basri,2004
:58), antara lain:
b. Meningkatkan
kepuasan hidup.
c. Adanya
kejelasan standard hasil yang diterapkan mereka.
d. Umpan
balik dari kinerja lalu yang kurang akurat dan konstruktif.
e. Pengetahuan
tentang kekuatan dan kelemahan menjadi lebih besar.
f. Pengembangan
tantang pengetahuan dan kelemahan menjadi lebih besar, membangun kekuatan dan
mengurangi kelemahan semaksimal mungkin.
g. Adanya
kesempatan untuk berkomunikasi ke atas .
h. Peningkatan
pengertian tentang nilai pribadi.
i.
Kesempatan
untuk mendiskusikan permasalahan pekerjaan dan bagaimana mereka mengatasinya.
j.
Suatu
pemahaman jelas dari apa yang diharapkan dan apa yang perlu untuk dilaksanakan
untuk mencapai harapan tersebut.
k. Adanya
pandangan yang lebih jelas tentang konteks pekerjaan.
l.
Kesempatan
untuk mendiskusikan cita-cita dan bimbingan apa pun doronganatau pelatihan yang
diperlukan untuk memenuhi cita-cita pegawai.
m. Meningkatkan
hubungan yang harmonis dan aktif dengan atasan.
Bagi penilai, manfaat
pelaksanaan penilaian kinerja (Rivai&Basri, 2004 : 60) adalah;
a. Kesempatan
untuk mengukur dan mengidentifikasikan kecenderungan kinerja pegawai untuk
perbaikan manajeman selanjutnya.
b. Kesempatan
untuk mengembangkan suatu pandangan umum tentang pekerjaan individu dan
departemen yang lengkap.
c. Memberikan
peluang untuk mengembangkan sistem pengawasan baik untuk pekerjaan manajer
sendiri, maupun pekerjaan dari bawahannya.
d. Identifikasi
gagasan untuk peningkatan tentang nilai pribadi.
e. Peningkatan
kepuasan kerja .
f. Pemahaman
yang lebih baik terhadap pegawai, tentang rasa takut, rasa grogi, harapan, dan
aspirasi mereka.
g. Menigkatkan
kepuasan kerja baik terhadap pegawai dari para manajer maupun dari para pegawai.
h. Kesempatan
untuk menjelaskan tujuan dan prioritas penilai dengan memberikan pandangan yang
lebih baik terhadap bagaimana mereka dapat memberikan kontribusi yang lebih
besar kepada institusi.
i.
Meningkatkan
rasa harga diri yang kuat diantara manajer dan juga para pegawai, karena telah
berhasil mendekatkan ide dari pegawai dengan ide para manajer.
j.
Sebagai
media untuk mengurangi kesejangan antara sasaran individu dengan sasaran
kelompok atau sasaran departemen SDM atau sasaran institusi.
k. Kesempatan
bagi para manajer untuk menjelaskan pada pegawai apa yang sebenarnya diingikan
oleh institusi dari para pegawai sehingga para pegawai dapat mengukur dirinya,
menempatkan dirinya, dan berjaya sesuai dengan harapan dari manajer.
l.
Sebagai
media untuk menigkatkan interpersonal relationship atau hubungan antara pribadi
antara pegawai dan manajer.
m. Dapat
sebagai sarana menimgkatkan motivasi pegawai dengan lebih memusatkan perhatian
kepada mereka secara pribadi.
n. Merupakan
kesempatan berharga bagi manajer agar dapat menilai kembali apa yang telah
dilakukan sehingga ada kemungkinan merevisi target atau menyusun prioritas
kembali.
o. Bisa
mengidentifikasikan kesempatan untuk rotasi atau perubahan tugas pegawai.
E.
Manfaat bagi institusi
Bagi institusi, manfaat
penilaian adalah, (Rivai&Basri, 2004 : 62) antara lain:
a. Perbaikan
seluruh simpul unit-unit yang ada dalam institusi karena:
1. Komunikasi
menjadi lebih efektif mengenai tujuan institusi dan nilai budaya institusi.;
2. Peningkatan
rasa kebersamaan dan loyalitas;
3. Peningkatan
kemampuan dan kemauan manajer untuk menggunakan keterampilan dan keahlian
memimpinnya untuk memotivasi pegawai dan
mengembangkan kemauan dan keterampilan pegawai.
4. Meningkatkan
pandangan secara luas menyangkut tugas yang dilakukan oleh masing-masing pegawai;
6. Meningkatkan
motivasi pegawai secara keseluruhan;
7. Meningkatkan
keharmonisan hubungan dalam pencapaian tujuan institusi;
8. Peningkatan
segi pengawasan melekat dari setiap kegiatan yang dilakukan oleh setiap pegawai;
9. Harapan
dan pandangan jangka panjang dapat dikembangkan;
10.
Untuk
mengenali lebih jelas pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan;
2.5.
Penelitian Terdahulu
a. Penelitian di lakukan oleh Mursidi
dengan judul Pengaruh Pendidikan
dan Pelatihan Terhadap Kinerja Pegawai. Pelatihan memiliki faktor kendali yang dapat menentukan
keberlangsungan sebuah kantor. Dapat dikatakan demikian karena pelatihan dalam
hal kualitasnya akan menentukan kualitas organisasi tersebut yang nantinya
berpengaruh pada kelangsungan hidupnya. Salah satu hal yang dapat dijadikan
parameter tentang kualitas kerja pelatihan adalah tingkat prestasi kerja yang
ada pada pelatihan tersebut. Secara logika dapat dikatakan bahwa semakin tinggi
prestasi kerja seorang pegawai maka dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pula
kualitas pegawai tersebut Prestasi kerja pegawai tidak akan timbul begitu saja,
melainkan membutuhkan suatu pendekatan yang intensif untuk memahami
faktor-faktor yang dapat menumbuhkan prestasi kerja pegawai. Hasil analisis
menunjukkan melaksanakan pelatihan dan pendidikan yang sangat baik dengan skor
tingkat 227,8. tingkat kinerja pegawai yang sangat baik dengan skor nilai 226.
Hasil analisis regresi menunjukkan traiming dan asuhan berpengaruh terhadap
kinerja pegawai dengan nilai koefisien regresi 0.911. Koefisien determinasi
nilai 0.644, menunjukkan bahwa pengaruh pelatihan dan asuhan terhadap kinerja pegawai
64,4%. Saran yang diberikan adalah Universitas Muhammadiyah Malang harus
menjaga dan meningkatkan kinerja pegawai.
b. Penelitian di lakukan oleh Fitri Syahreni Siregar
dengan judul Pengaruh Pendidikan
dan Pelatihan Terhadap Kinerja Pegawai. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan dan dilanjutkan dengan menganalisa data yang
diperoleh, maka hasilnya adalah bahwa terdapat hubungan yang sedang antara
pelatihan tingkat pendidikan terhadap kinerja pegawai sebesar 0,517.
Berdasarkan uji hipotesis yang diperoleh nilai positif sebesar 43,75, hal ini
berarti ada pengaruh yang signifikan antara pelatihan dan tingkat pendidikan
terhadap kinerja pegawai dengan tingkat pengaruh 3,864%. Sehingga hipotesis
yang menyatakan ada pengaruh antara pendidikan dan pelatihan kinerja pegawai
dapat diterima.
2.6.
Kerangka Pemikiran
“Rancangan
penelitian adalah rencana dan sruktur penyelidikan yang disusun sedemikian rupa
sehingga peneliti akan memperoleh jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan
penelitiannya” (Kerlinger, 1990: 483). Berdasarkan permasalahan yang diteliti,
maka Minat dan jenis penelitian ini menggunakan penelitian Ex-Post Facto atau
pengukuran sesudah kejadian dan deskriptif korelasional.
Penelitian
ini berusaha untuk menemukan ada tidaknya pengaruh antara pelatihan, tingkat
pendidikan dan sikap pegawai terhadap kinerja karywan pada Kantor Kementerian
Agama Kota Jakarta Selatan. Deskriptif korelasional dipandang sesuai dengan
penelitian ini karena bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang variabel yang
diteliti dan bersifat korelasi karena penelitian ini bertujuan untuk menemukan
ada tidaknya hubungan dan apabila ada, berapa eratnya hubungan serta berarti
atau tidaknya hubungan itu.(Arikunto, 1993: 215). Pada penelitian ini berusaha
untuk menemukan ada tidaknya pengaruh antara pelatihan, tingkat pendidikan dan sikap
pegawai terhadap kinerja karywan pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta
Selatan. Variabel dalam penelitian ini adalah pelatihan X1, tingkat
pendidikan X2 dan sikap pegawai X3 sebagai variabel bebas
terhadap kinerja karywan sebagai variabel terikat (Y), pengaruh tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1.
Pengaruh Antar Variabel
![]() |
2.7.
Hipotesis
Menurut PPKI (2000: 12) “hipotesis
merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang secara/minat
teoritis diangggap paling mungkin dan paling tinggi tingkat kebenarannya”.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
Ho : Tidak ada pengaruh yang
signifikan variabel pelatihan, tingkat pendidikan dan sikap pegawai terhadap kinerja
karywan pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan.
Ha : Ada pengaruh yang
signifikan variabel pelatihan, tingkat pendidikan dan sikap pegawai terhadap kinerja
karywan pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan.
Hipotesis yang diajukan selanjutnya akan diuji kebenarannya dengan bantuan
statistik dengan data-data yang terkumpul. Maka Hipotesis dalam Penelitian ini
adalah :
§ H1 : Ada pengaruh yang signifikan variabel Pelatihan,
terhadap kinerja karywan pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan.
§ H2 : Ada pengaruh yang signifikan variabel Tingkat
Pendidikan terhadap kinerja karywan pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta
Selatan.
§ H3 : Ada pengaruh yang signifikan variabel Sikap Pegawai
terhadap kinerja karywan pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan.
§ H4 : Ada pengaruh yang signifikan variabel Pelatihan,
Tingkat Pendidikan dan Sikap Pegawai terhadap kinerja karywan pada Kantor
Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan.
BAB 3.
METODE PENELITIAN
3.1.
Variabel Penelitian
Variabel
–variabel penelitian dalam penelitian ini
sebagai berikut:
a. Variabel Dependen (terikat)
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kualitas
pelayanan pegawai, dimana
peningkatan atau penurunan kualitas pelayanan dipengaruhi oleh variabel-variabel lain.
b. Variabel Independen (bebas)
Variabel Independen dalam penelitian ini adalah sarana,
lingkungan dan Manajemen institusi dimana
variabel tersebut diduga mempengaruhi kualitas pelayanan
(variabel terikat).
3.2.
Definisi Konseptual dan Indikator Penelitian
Tabel 3.1.
No
|
Variabel
|
Devinisi
Konseptual
|
Indikator
Penelitian
|
Item
Pernyataan
|
1
|
Pelatihan
|
- Maksud dan tujuan Pelatihan
- Fasilitas dan sarana pelatihan
- Instruktur/pengajar
- Materi Pelatihan
- Waktu Pelatihan
- Manfaat Pelatihan
|
- 8
|
|
2
|
Tingkat
Pendidikan
|
Proses
pendidikan untuk mengembangkan pengetahuan pegawai yang berpengaruh pada
kinerja seseorang.
|
-
Pedidikan yang di capai
-
Bertambahnya konseptual
-
Mengembangkan diri
-
Peningkatan kinerja
|
-
8
|
3
|
Sikap Pegawai
|
pernyataan evaluatif terhadap
objek, orang atau peristiwa.
|
-
Sikap
kepada lingkungan kerja
-
Sikap
terhadap diri sendiri
-
Sikap
terhadap pekerjaan
-
Sikap
terhadap institusi
|
- 8
|
4
|
Kinerja
Pegawai
|
Kinerja
merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak
tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan
dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui
dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional.
|
- Produktivitas
- Kualitas layanan
- Responsivitas
- Responsibilitas
- akuntabilitas
|
- 8
|
3.3.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian asosiatif.
Penelitian asosiatif yaitu merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan ataupun pengaruh antara dua variabel atau lebih
(Sugiyono, 2005:10). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ex post facto. Ex post facto adalah suatu penelitian yang digunakan untuk meneliti
peristiwa yang telah terjadi kemudian merunut kebelakang untuk mengetahui
faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejadian tersebut (Sugiyono, 2005:7).
3.4.
Poplulasi dan Sampel

Menurut Sugiyono (2005) Sampel merupakan bagian dari
populasi yang menjadi sumber data dalam penelitian, yang mana adalah merupakan
bagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Peneliti
melakukan penelitian terhadap sampel yang mewakili populasinya. Pemilihan
sampel untuk penelitian ini dilakukan secara Random Sampling yaitu populasi yang dijadikan sampel adalah
populasi diambil secara acak. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai
pada Kantor Kementerian Agama yang yang dihitung dengan rumus Solvin : (Riduwan:
2007).

Dimana
:
n =
Jumlah Sampel
N =
Jumlah populasi
e =
Sampling error (10%)
Sehingga jumlah sampel yang diperoleh dengan rumus perhitungan
di atas sebanyak :

3.5.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan riset lapangan, yaitu
suatu riset yang dilakukan langsung pada kantor yang akan diteliti sehingga dapat diperoleh informasi
yang menyeluruh, tepat dan akurat. Teknik pengumpulan data di lapangan yang
digunakan dalam melakukan penelitian adalah sebagai berikut :
a. Observasi
Observasi yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan
cara mengamati secara langsung kegiatan pegawai yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam
penelitian ini.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan kepada pegawai yang diamati juga terhadap guru untuk mengali
informasi yang lebih mendalam
sehingga hasil yang diharapkan lebih akurat dan didasarkan pada sumber yang
dapat mewakili.
c. Kuesioner
Penggunaan
kuesioner pada penelitian survei merupakan hal yang pokok untuk pengumpulan
data. Hasil kuesioner tersebut akan diolah menjadi angka-angka dan analisis
yang akan menghasilkan kesimpulan dari hasil penelitian.
Penilaian kuesioner data mengunakan skala
Likert untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok
orang. Dengan skala likert, maka variable yang akan diukur dijabarkan menjadi
indicator variable. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item
instrument yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Instrumen yang menggunakan skala likert
mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatife yaitu : Menurut
skala likert, 5 alternatif pilihan yang diurut atas dasar skor.
Tabel 3.2.
Skala Penilaian
Uraian
|
Kode Jawaban
|
Skor Jawaban
|
Sangat Baik
|
SB
|
5
|
Baik
|
B
|
4
|
Cukup Baik
|
CB
|
3
|
Tidak Baik
|
TB
|
2
|
Sangat Tidak Baik
|
STB
|
1
|
3.6.
Metode Analisis Data
Metode
disini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses
penelitian. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu
pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sistematis untuk
mewujudkan kebenaran. Analisis data bertujuan mengolah data-data penelitian
sehingga menghasilkan nilai yang dapat diartikan. Pengolahan data dalam
penelitian ini menggunakan program pengolah data SPSS versi 16. Adapun analisis
data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengolahan, yaitu :
a. Uji Instrumen Penelitian
b. Uji Validasi
Uji instrumen bertujuan untuk mengetahui apakah instrumen
yang digunakan (kuesioner) dalam penelitian memenuhi kriteria instrumen yang
baik atau tidak. Baik tidaknya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam
intrumen penelitian dapat dilihat dari hasil uji validitas dan reliabilitas,normalitas,
multikolonieritas dan autokorelasi.
c. Uji Reliabilitas
Validitas yaitu
suatu ukuran yang menujukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu
instrumen. Adapun kriteria pengujianya adalah jika
dengan taraf
kesalahan 0,05 maka instrumen dinyatakan valid, sebaliknya jika
maka instrument tersebut tidak valid.


d. Uji Normalitas
Dilakukan
untuk memastikan bahwa data variabel penelitian berasal dari data yang
berdistribusi normal. Pada uji ini digunakan grafik normal PP Plot hasil
pengolahan dengan program SPSS. Asumsi normalitas adalah jika titik-titik data
hasil regresi tersebar di seputar garis diagonal pada grafik normal PP Plot.
e.
Uji
Multikolinearitas
Uji
Multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai VIF dan tolerance hasil
pengolahan dengan program SPSS. Hasil yang baik diperoleh jika nilai tolerance
mendekati angka satu dan nilai VIF berada di seputar 1 dan maksimal 10.
f.
Uji
Autokolerasi
Uji
Durbin-Watson hasil pengolahan SPSS digunakan untuk mengetahui terpenuhi
tidaknya asumsi non autokorelasi. Non autokorelasi terpenuhi jika nilai Durbin
– Watson memiliki nilai antara 1.80 sampai dengan 2.35.
3.7.
Analisis Korelasi Ganda
Analisis korelasi sering digunakan untuk mengetahaui erat
tidaknya hubungan antar variabel. Apabila ternyata hasil analisis menunjukan
hubungan yang cukup erat, maka analisis dilanjutkan ke analisis regresi sebagai
alat meramalkan yang sangat berguna untuk suatu perencanaan. Dalam analisis
korelasi terdapat dua variabel, yaitu variabel 
, dan Y. koefisien
korelasi menunjukkan arah serta kuat atau lemahnya hubungan antara dua variabel
tersebut.


Bila
r =
-1 maka hubungan kedua variabel tersebut sempurna dan berlawanan arah.
Bila r = 0
maka hubungan kedua variabel sangat lemah atau tidak mempunyai hubungan.
Bila r = 1 atau mendekati 1 maka hubungan kedua
variabel tersebut sempurna dan mempunyai hubungan searah (positif).
3.7.1. Penentuan Nilai Determinasi
Nilai determinan memberikan gambaran seberapa besar kontribusi variable
independent terhadap variable dependen yang dinyatakan dengan persen. Coefficient of
Determination di rumuskan sebagai berikut :
Kd
= r2 x 100%
Dimana :
Kd = Koefisien penggunaan dalam presentase
(R2)
r
= Nilai koefisien korelasi
regresi
Atau dalam hasil pengolahan
dengan program pengolah data SPSS dapat dilihat pada tabel summary di R Square.
3.7.2. Analisis Regresi Ganda
Regresi ganda digunakan untuk meramalkan bagaimana keadaan (naik
turunnya) variabel dependen (kriterium) bila dua atau lebih variabel
independen sebagai faktor prediktor
dimanipulasi (dinaik turunkan nilainya).
Persamaan regresi
untuk dua prediktor adalah :
Y

Dimana :
Y = Variabel
Kualitas Pelayanan ( terikat)
a =
Bilangan konstanta
b1 = Koefesien regresi variabel
X1
b2 = Koefisien regresi variabel X2
b3 = Koefisien regresi variabel X3
X1 = Variabel
Pelatihan (bebas)
X
= Variabel
Tingkat Pendidikan (bebas)

X3
= Variabel Sikap Pegawai (bebas)
3.7.3.
Uji
Hipotesis
Uji Hipotesis dalam penelitian
ini terdiri dari pengujian untuk pengaruh masing-masing variabel independen
terhadap variabel dependen, dilakukan dengan uji t dan pengujian untuk pengaruh
secara bersama atau simultan dilakukan dengan uji F. Pengujian tersebut
diuraikan sebagai berikut :
3.7.3.1.Pengaruh Parsial Variabel x-y
Dengan Uji t
Uji Hipotesis dalam penelitian ini terdiri dari pengujian untuk pengaruh
masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen, dilakukan dengan
uji t dan pengujian untuk pengaruh secara bersama atau simultan dilakukan
dengan uji F. Pengujian tersebut diuraikan sebagai berikut :
1.
Variabel
Pelatihan
-
Ho1 : tidak ada pengaruh yang signifikan
variabel Pelatihan
terhadap Kinerja Pegawai
Pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan (Y)

-
Ha1 : ada pengaruh yang signifikan variabel Pelatihan
terhadap Kinerja Pegawai
Pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan (Y).

2.
Variabel Tingkat
Pendidikan
-
Ho2 : tidak ada pengaruh yang signifikan variabel Tingkat
Pendidikan
terhadap Kinerja Pegawai
Pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan (Y).

-
Ha2 : ada pengaruh yang signifikan variabel Tingkat
Pendidikan
terhadap Kinerja Pegawai
Pada Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan (Y).

3.
Variabel Sikap Pegawai
-
Ho3 : tidak ada pengaruh yang signifikan
variabel Sikap Pegawai
terhadap Kinerja Pegawai Pada
Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan (Y).

-
Ha3 : ada pengaruh yang signifikan variabel Sikap
Pegawai
terhadap Kinerja Pegawai Pada
Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan (Y).

3.7.3.2. Uji F Menguji Pengaruh Secara Bersama
Uji F digunakan untuk menguji variabel Pelatihan, variabel Tingkat Pendidikan dan variabel Sikap Pegawai secara bersama terhadap Kinerja Pegawai. Kriteria pengujian hipotesis secara statistik adalah :
- Jika F
< F
, maka Ho diterima dan Ha ditolak


- Jika F
> F
, maka Ho
diolak dan Ha diterima


Atau bila
menggunakan nilai probabilitas sig., maka kriteria pengujian sebagai berikut :
- Jika probabilitas sig.
> ά , maka
Ho diterima dan Ha ditolak

- Jika probabilitas sig.
< ά, maka
Ho ditolak dan Ha diterima

Dalam bentuk
kalimat kriteria hipotesis
dinyatakan sebagai berikut :
-
Ho4 : tidak ada pengaruh yang signifikan variabel Pelatihan, Tingkat
Pendidikan dan Sikap Pegawai
terhadap Kinerja Pegawai pada
Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan (Y).

-
Ha4 : ada pengaruh yang signifikan variabel Pelatihan,
Tingkat Pendidikan dan Sikap
Pegawai
terhadap Kinerja Pegawai pada
Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan (Y).

DAFTAR PUSTAKA
Sumber: UU Nomor 20 Tahun
2003, http://www.kemdiknas.go.id, Wikipedia Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pengunjung yang baik mohon tinggalkan komentar nya yaa..